Buku tamu
Cerita misteri
Download
Tip dan trik
Tips dan trik pc
Tips dan trik pc
Lagu cerbonan
Lagu cirebonan
Lagu cirebonan
Barang jadi hak milik
Tanpa iuran bulanan
Chanel dakwah
Chanel musik
Chanel berita dalam dan luar negeri
Chanel movies
Chanel nasional komplit
Jika anda berminat silahkan Chat wa 081911387331
Cermis - Saat tersesat di hutan
,Ini cerita
singkat dari ku sebagai
seorang sipir penjara yang di
tugaskan mengejar napi yang
kabur dari penjara,pengejaran
tersebut berujung hingga
pencarian di tengah
hutan,namun setelah gagal
mengejar napi yang kabur,di
tengah hutan hingga
menjelang maghrib,akupun
tak sadar hingga motor ini
hendak masuk ke dalam
jurang,rupanya ini jalan yang
salah
dari seorang kakek misterius
di tengah hutan tadi yang
memberi arah yang juga
salah,entahlah...
Nafasku tersengal-sengal.
Berat benar kerja di penjara
ni, fikirku. Darahku naik
sampai keubun-ubun. Kebas
seluruh kepalaku. Bagaimana
kalau aku terjun ke bawah
jurang itu. Mataku nanar.
Lemas tanganku sementara
Kutoleh ke belakang, seniorku
yang bernama Pak Tambun,
tampak pucat di belakang.
Nafasnya juga tersengal-
sengal. Pak Tambun yang
badannya tambun akhirnya
berkata "hampir mampus
kita" dengusnya
Oh semua tahu itu, apalagi
kita. Kurasa
"Pak, coba bapak turun
bentar, biar kumundurkan
sepeda motor ini" Sepeda
motor ini masih di depan bibir
jurang. Aku menahannya
dengan rem kaki dan rem
tangan agar tidak jatuh.
Pak Tambun turun dengan
teratur. Dia berjongkok di
samping sepeda motor.
Nafasnya masih tersengal-
sengal.
"Kurang asem pak tua itu, dia
memberi jalan yang salah."
dia terduduk " bukannya
memberi jalan keluar dari
tempat ini, malah disuruhnya
kita hampir mampus di sini"
Aku bisa bilang apa? Aku
berusaha memudurkan sepeda
motor. Langit di atasku
terlihat samar-samar masih
menunujukkan safak merah di
antara rerimbunan batang-
batang pohon yang menjulang
tinggi lebat. Masih magrhib
Setelah berhasil aku
mundurkan sepeda motor ini
dari bibir jurang, aku pun
duduk di samping Pak
Tambun. "Bagaimana pak,
Balik aja kita pulang?"
"Iya la, apalagi" sahutnya
"Kita ikuti aja jalan yang tadi"
Eh Semua jalan gelap di depan
Setelah nafasku dan kagetku
berkurang, akupun menaiki
sepeda motor ini kembali. Pak
Tambun, tanpa dikomando,
naik juga di jok belakang.
Kuhidupkan starter sepeda
motorku, Menyalak lagi ni
motor. Senang lah aku kali ini.
Kuingat-ingat jalan yang tadi.
Sudah terlampau jauh kami
masuk ke dalam hutan kebon
ini. Sampai-sampai semuanya
sama aku lihat. Gelap
Dengan menelusuri hutan
kebon ini, pedoman ku hanya
lampu dari sepeda motor ini.
Pak Tambun sama sekali tidak
membantu. Dia diam membisu
di belakangku. Kurasa dia
mungkin sudah tidur. Seperti
yang sudah-sudah. Aku
menoleh ke belakang
"Hei hadap depan saja, salah-
salah bisa kau tabrak tu
pohon" Katanya kasar
Gak sampai sepuluh menitan
kami berjalan. dari kejauhan
aku perhatikan ada cahanya
kecil menyembul di antara
kegelapan di dalam hutan
kebon ini. Mungkin itu canteng
(penjaga kebon) ini fikirku
Aku datangi ke arah cahaya
itu. Kali aja memang ada
orang di sana. Bisa aku dan
pak Tambun menanyakan
arah untuk keluar dari hutan
kebon ini.
Tak berapa lama, benar saja!
Ada orang di sana. Bahkan
tidak hanya orang tetapi juga
sebuah gubug. Gubug? Bisalah
aku minta makan atau minum
di sini. Lapar mulai
menyerang. Ah tapi gak enak
juga dengan yang empunya
rumah
"Assalam alaikum pak! ibu!"
ucapku sambil mengetok pintu
gubbug itu. Tak bisa dibilang
juga pintu, Hanya selembar
triplex yang disangkutkan
paksa pada penyangga gubung
ini
Suara batuk terdengar dari
dalam. Dengan membawa
sebuah lampu minyak,
seorang nenek tua keluar dari
rumah gubugh tua itu. Nenek
tua itu berkulit keriput.
Hampir seluruh wajahnya
terlihat lesu dan kusam,
seperti kertas yang diremas-
remas dengan paksa, kulitnya
habis tidak bersisa dengan
kerutan jelek itu. Matanya
agak sipit dan berwarna hitam
gelap. Nenek itu mengenakan
batik tulis tua berwana coklat
kusam. Rambutnya terjuntai
panjang di sekitar kedua sisi
bahunya "Siapa ya?" tanyanya.
Matanya menyipit kesulitan
menggambarkan orang di
depannya
"Maaf bu, nek, maksudku, er
bolehkah kami numpang
bertanya"
Nenek tersebut menyapu
padangan kepadaku dari atas
ke bawah "Ya ada apa?"
"Kami tersesat di dalam
kebon ini, bisakah nenek
memberitahu kami jalan
keluar dari kebon ini" ucapku
manis
"Kalau ada bisa kami minta
teh manis buk" sahut Pak
Tambun di belakangku
menyela pembicaraanku. Aku
hanya menghela nafas
"Oh bisa bisa" jawab nenek itu
pelan dan parau "sebentar
ya!"
Dia kemudian masuk ke dalam
gubug dengan jalan perlahan
yang dipaksakan, seperti
orang yang menyeret kakinya
dengan paksa
Fikiranku kembali bekerja.
Kunintip dari balik dinding
tepas yang bolong-bolong itu.
Sepertinya nenek ini tinggal
sendiri. Tidak ada tanda-tanda
orang lain.
Kurasa-rasa, saat kami
memasuki hutan ini, tidak ada
kulihat rumah barang sebiji
pun. Kalaupun ada, hanya
terletak di pinggir hutan ini
saja dan tidak sampai ke
dalam hutan ini. Apalagi di
gubug ini sendiri, tinggal
seorang nenek, di tengah
hutan pula. Fikiranku mulai
macam-macam. Hatiku mulai
gak enak
Nah tak berapa lama. Itu
nenek keluar dengan nampan
dan sebuah poci teh. Dari luar
aku bisa mencium wangi
tehnya
Tanpa basa-basi. Pak Tambun
langsung membantu nenek
itu. Membantu menuangkan
tehnya langsung ke gelasnya
sendiri. Disruputnya teh itu.
"Ah segar" katanya
Aku hanya menelan ludah
"Silahkan nak diminum" sahut
nenek tersebut sembari
menawarkan gelas yang sudah
diisinya dengan teh. Karena
susasan agak gelap, aku
kesulitan melihat isi gelasku.
Tapi baunya memang teh.
"Terima kasih nek" jawabku
"Buk, aku ke belakang
sebentar ya" ngertilah
maksudnya "ke belakang
bentar aku ya Kamal" dia
menatapku sebelum pergi .
Dia mau pipis. Pergilah pak
Tambun ke belakang gubug
reyot ini. "Hati-hati pak"
seruku
Pak Tambun gak menyahut
dan ngeloyor pergi ke
belakang gubug itu dan
menghilang di balik bayang-
bayang
"Er, nek, nenek tinggal sendiri
ya di sini" tanyaku sembari
menyeruput teh itu
"Iya nak, nenek tinggal
sendiri" jawabnya parau
"Apa nenek gak takut tinggal
sendirian di sini. Ini kan hutan.
Gada orang lagi. Takut
kenapa-kenapa nanti kan
repot"
"Enggak apa-apa, di sini
semuanya teman"
"Teman?" tanyaku
Nenek itu hanya tertawa,
giginya sudah hampir-hampir
enggak ada lagi, hanya tinggal
dua batang saja di kanan kiri
gusinya yang pucat
"Mau kemana nak?"
"Kami mencari napi yang lari
nek. Kami petugas nek"
jawabku terbata-bata "Kurang
asem, tadi ada seorang kakek
menunjuki kami arah yang
salah. Hampir saja kami
masuk ke jurang"
"Jurang di sana itu" tunjukku
ke arah sana
"Oh begitu ya!"
"Nenek kenal dengan kakek
itu?" tanyaku
"Dia almarhum suami saya"
jawabnya dengan tersenyum.
Serrr, dadaku bergemuruh,
perasaanku mulai gak enak.
Jadi serba salah aku
mengatakan hal tadi
Nenek itu tetap tersenyum
menunujukkan giginya yang
seperti drakula itu
"Mmm maaksud nenek
bagaimana ya?" tanyaku
terba-bata, mencoba
menjelaskan. Kugaruk-garuk
kepalaku yang enggak gatal,
hanya untuk memastikan
bahwa pendengaranku kurang
begitu jelas dengan ucapan si
nenek
" yang kau jumpai tadi itu
memang suami saya,
almarhum suami saya" Glek
nafasku agak berhenti
"Maaf nenek, tadi
menyinggung soal kakek tadi"
jawabku dengan enggan
Nenek tadi hanya tertawa.
Suara tawanya nyaring dan
menakutkan
Pak Tambun keluar dari
bayang-bayang. Dia lari
ketakutan. "Mal, kita pergi
sekarang aja"
"Lah pak, teh bapak enggak
dihabisin?" jawabku pura-pura
tenang
"alah yok mal, kita buru-buru
nih. Sudah sangat malam"
"Sudah malam atau sudah
tahu?" nenek itu ketawa,
tambah nyaring. Aku menjadi
takut
Pak Tambun malah tambah
pucat dan melompat di atas
sepeda motor, Aku yang
terkejut langsung lari ke atas
motor itu juga. Dengan agak
sigap kumasukkan kunci ke
dalam steker sepeda motor.
Motor meraung. Aku lihat dari
balik kaca spion. Enggak ada
apa-apa. Glek semua gelap.
Rumah itu tiba-tiba hilang.
Nenek itu hilang dan hutan
menjadi gelap seperti
semuala. dan suara nenek itu
tetap nyaring terdengar di
belakangku. Anjrit
Eh busyet, apa yang terjadi
nih, fikirku
Pak Tambun gak banyak
berkata-kata kecuali terus
menerus meminta ku memacu
ini motor dengan kecepatan
full.
Aku terus mengendarai
sepeda motor seperti
kesetanan. Pak Tambun
memeluk badanku erat.
Nafasnya tersengal-sengal.
Gak lebih dua puluh menit
kemudian, mulailah aku
melihat banyak rumah
penduduk. Rumah-rumah yang
sama saat aku memaskui
hutan perkebonan milik PTPN
ini. Orang-oarng yang melihat
aku melaju kencang marah-
marah dan maki-maki. "Hei
orang sinting" begitu ucapan
mereka yang sempat
kudengar. Kupacu terus speda
motor ini hingga sampai ke
bibir hutan. Setelah kurasa
sudah aman dan memasuki
jalan besar, aku mulai
bertanya kepada pak Tambun
"Pak ada apa tadi pak?"
Pak Tambun gak mau
ngomong hingga sekarang.
Dia hanya bilang kami tadi
singgah di dua buah kuburan
di dalam perkebonan tadi,
bukan rumah, dan dia melihat
dari belakang bahwa rumah
itu terbuka separuh. Dan di
dalam rumah itu isinya
kuburan. Jadi sepertinya kami
sedang duduk-duduk di
kuburan. Rumah orang mati
Tapi pak Tambun gak mau
cerita apa yang dijumpai di
dekat kuburan itu tadi
sehingga wajahnya menjadi
pucat pasi dan ketakutan
setengah mati itu,menurutku
nenek tersebut adalah
jelmaan dari kuntilanak.
Created at 03/01/15
kembali ke pos
komen kamu
UNDER MAINTENANCE
Negara :
Ip : 18.218.115.99
Mingu ini : 1 Orang
Bulan ini : 172 Orang
Total : 414236 Orang
Jumlah komentar : 13 Orang